Tantangan Golongan Menengah Meraih Gelar: Membongkar Kaitan UKT, Utang Belajar, dan Masa Depan Bangsa

Bagi golongan menengah, impian meraih gelar sarjana kini dihadapkan pada serangkaian tantangan finansial yang semakin berat. Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang signifikan di banyak perguruan tinggi negeri, ditambah dengan fenomena utang belajar melalui pinjaman pendidikan, secara fundamental mengubah lanskap akses pendidikan tinggi. Dilema ini bukan hanya masalah individu, tetapi juga memiliki implikasi serius terhadap mobilitas sosial dan kualitas sumber daya manusia yang akan menentukan masa depan bangsa. Lalu, bagaimana kaitan antara ketiga faktor ini memengaruhi golongan menengah dalam perjalanan meraih gelar?

Kenaikan UKT menjadi pemicu utama. Golongan menengah, yang seringkali dianggap “cukup mampu,” justru terjebak dalam posisi dilematis. Mereka tidak memenuhi kriteria penerima beasiswa penuh atau bantuan KIP Kuliah yang ditujukan untuk kelompok kurang mampu, namun di sisi lain, UKT yang mahal terasa sangat memberatkan. Sebagai contoh, di sebuah universitas di Pulau Jawa, pada awal semester Genap 2024/2025, terjadi protes dari orang tua mahasiswa yang rata-rata berprofesi sebagai pekerja swasta atau ASN golongan menengah, karena UKT yang ditetapkan melonjak drastis hingga menyentuh angka 15 juta rupiah per semester untuk beberapa jurusan favorit.

Kondisi ini kemudian mendorong banyak mahasiswa dari golongan menengah untuk mengambil jalan pintas: utang belajar. Pinjaman pendidikan dari lembaga keuangan formal maupun fintech menjadi opsi yang kian populer. Meskipun ini memungkinkan mereka untuk terus meraih gelar, konsekuensinya adalah beban utang yang harus ditanggung setelah lulus. Survei independen pada November 2024 oleh sebuah lembaga riset pendidikan di Jakarta menunjukkan bahwa 60% lulusan baru dari golongan menengah yang mengambil pinjaman pendidikan merasa tertekan untuk segera mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi demi melunasi utang, yang terkadang membuat mereka mengesampingkan passion atau pengembangan karier jangka panjang.

Dampak jangka panjang dari fenomena ini adalah potensi terhambatnya mobilitas sosial dan kualitas sumber daya manusia bangsa. Jika pendidikan tinggi menjadi beban finansial yang terlalu besar, golongan menengah yang seharusnya menjadi pilar inovasi dan pembangunan akan kesulitan untuk mengembangkan potensi terbaik mereka. Ini dapat menciptakan stagnasi sosial dan ekonomi. Kesulitan meraih gelar dan terlilit utang di awal karier dapat mengurangi semangat berinovasi atau mengambil risiko dalam berwirausaha, padahal ini adalah karakteristik penting untuk kemajuan bangsa.

Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat perlu bersinergi. Kebijakan UKT yang berkeadilan, skema bantuan yang lebih inklusif untuk golongan menengah, dan regulasi ketat terhadap pinjaman pendidikan yang merugikan adalah langkah-langkah krusial. Memastikan bahwa pendidikan tinggi tetap menjadi sarana mobilitas sosial, bukan penghalang, adalah investasi fundamental bagi masa depan bangsa yang lebih cerah.